Selasa, 27 November 2007

MENYOAL ALIH FUNGSI LAHAN, KEKERINGAN, DAN KETAHANAN PANGAN

MESKI topik yang dibahas dalam sidang kabinet adalah kekeringan dan ketahanan pangan, masalah alih fungsi lahan pertanian subur justru mendapat perhatian luar biasa. Kita tahu, sudah banyak perangkat hukum, mulai dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 53 Tahun 1989, Keppres No 33/1990, hingga Surat Edaran (SE) Menteri Negara Agraria No 410-2261 1994, yang mengatur alih fungsi lahan pertanian subur, terutama lahan sawah ke lahan industri. Bahkan, Departemen Pertanian mengusulkan perlunya sawah abadi sebagai pemasok pangan nasional jangka panjang.
Ada tiga pertanyaan esensial, mengapa alih fungsi lahan pertanian subur mendapat perhatian besar. Pertama, faktor apa yang menyebabkan laju alih fungsi lahan pertanian subur demikian tinggi?
Kedua, bagaimana pengaruh alih fungsi lahan terhadap kekeringan dan ketahan pangan nasional?
Ketiga, implikasi kebijakan apa yang harus diambil pemerintah bersama masyarakat agar masalah kekeringan dan ketahanan pangan dapat dipecahkan?

Betonisasi dan aspalisasi
Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi saat ini lebih tepat disebut betonisasi atau aspalisasi. Terminologi betonisasi dan aspalisasi ini diintroduksi guna mempersempit dan mempertegas pengertian alih fungsi lahan yang bermakna amat luas, mulai dari alih fungsi lahan hutan ke lahan perkebunan sampai lahan sawah yang meloloskan air (permeable) menjadi permukiman dan industri yang cenderung tidak meloloskan air (impermeable).
Tingginya laju alih fungsi lahan sawah menjadi lahan industri di Jawa, selain karena nilai tukar produk pertanian yang terus merosot, juga karena input dan risiko usaha tani cenderung meningkat dan unpredictable. Hal ini diperoleh dari peternak susu di Jawa Tengah yang mengeluhkan harga pakan dan kebutuhan sehari-hari (pangan dan sandang) yang terus meningkat. Selain itu, harga susu cenderung menurun akibat permainan oknum tengkulak. Karena itu, para petani bertanya, apakah rendahnya komitmen pemerintah untuk melindungi petani harus diimbangi petani dengan mempertahankan lahan usaha tani dan tidak menjualnya untuk kepentingan pabrik? Ironis!
Pemicu laju alih fungsi lahan pertanian subur lainnya, terutama di Jawa, antara lain karena fasilitas, daya dukung lahan, pangsa pasar di Jawa yang lebih menjanjikan dibanding luar Jawa, dan lemahnya penegakan hukum. Hal ini membuat investor memilih Jawa sebagai lahan investasi. Apalagi saat booming ekonomi Indonesia, pemerintah banyak memberi insentif kepada investor guna mengejar target pertumbuhan ekonomi. Saat itu kompensasi alih fungsi lahan sawah di Jawa, dengan membuka sawah di luar Jawa, namun banyak yang gagal. Contohnya, pembukaan lahan sejuta hektar.
Meski dampak alih fungsi lahan begitu strategis, sampai saat ini kita belum memiliki besaran (magnitude) tentang luas sawah baku nasional dan perkembangannya menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal), sehingga pola alih fungsi lahan belum dapat direpresentasikan lokasi dan kecenderungannya. Data yang tersedia umumnya tabular yang sulit dipertanggungjawabkan akurasinya. Akibatnya, data laju alih fungsi lahan sawah cenderung beragam sesuai interes sektoralnya. Ada yang mengatakan, di Jawa mencapai sekitar 22.000 hektar selama kurun waktu 1987-1993. Bahkan, ada yang mengatakan sudah sekitar 100.000 hektar lahan sawah di Jawa yang sudah dikonversi sampai akhir 2000.
Bila data terakhir diasumsikan benar, dengan rata-rata produksi lima ton gabah dengan intensitas tanam dua kali setahun, alih fungsi lahan pertanian akan menurunkan kemampuan produksi pangan nasional satu juta ton per tahun. Itu sebabnya, mengapa sejak swasembada beras kita tidak mampu meningkatkan produksi pangan nasional lagi meski teknologi varietas dan budidaya sudah dipompa habis-habisan. Bahkan, ada kecenderungan impor pangan meningkat karena laju pertumbuhan penduduk tidak mampu diimbangi peningkatan produksinya.
Belum tersedianya data yang akurat tentang alih fungsi lahan menyebabkan pemecahan masalah ini lebih bersifat sektoral, yang jelas akan mahal dan tidak efektif. Konflik kepentingan antarsektor di lapangan yang justru merugikan semua pihak sering tidak dapat dihindarkan. Padahal, jika pemerintah mau bersungguh-sungguh dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh melalui citra, maka deliniasi: luas sawah, luas tanam, luas panen, dan kecenderungan (trend) konversi lahan sawah dapat dipantau dan diprediksi dengan akurat. Bahkan, dengan teknik itu yang diintegrasikan dengan golongan air irigasi, produksi dan produktivitas tiap satuan lahan sawah dalam sistem pangkalan data (data base), maka kemampuan produksi pangan nasional dalam berbagai skenario iklim untuk tahun El Nino (kering), La Nina (basah) dan normal dapat dikomputasikan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi telah memulai usaha itu dengan mengambil studi kasus sentra produksi pangan pantura Kabupaten Karawang, tepatnya di daerah irigasi Tarum Tengah. Prototipe model ini direncanakan akan di launching akhir 2002, dan diharapkan dapat divalidasi di seluruh wilayah Indonesia.
Ketahanan pangan
Berdasar penelitian, alih fungsi lahan pertanian/betonisasi berdampak terhadap, pertama penurunan volume air hujan yang dapat diserap tanah dari 15 persen sampai di bawah sembilan persen. Kedua, peningkatan volume aliran permukaan dari sekitar 30 persen menjadi 40-60 persen. Ketiga, kecepatan aliran permukaan dari kurang 0,7 meter per detik menjadi lebih dari 1,2 meter per detik.
Rendahnya penambahan air tanah (recharge) melalui infiltrasi pada musim hujan akan menyebabkan menurunnya pasokan air di musim kemarau, sementara itu kebutuhan air irigasi pada musim kemarau justru meningkat. Dampaknya, selain menurunnya luas daerah layanan irigasi, juga menurunnya intensitas tanam bahkan sering diikuti meningkatnya risiko kekeringan. Kondisi demikian akan berdampak terhadap penurunan produksi pangan secara nasional.
Bila disimak lebih lanjut, masalah alih fungsi lahan, kekeringan, dan ketahanan pangan dapat dibingkai dalam suatu "grand strategy tata ruang nasional". Melalui tata ruang nasional, maka lokasi, alokasi dan sistem produksi/budidaya dan pemanfaatan sumber daya tanah, air, dan udara diatur sesuai kelas kemampuan lahan dan fasilitas pendukungnya. Dengan demikian, zonafikasi lahan dilakukan dengan pendekatan yang utuh.
Asas efisiensi, keberlanjutan, daya saing, dan keadilan menjadi kata kunci yang perlu disepakati. Untuk mewujudkannya, diperlukan pewilayahan (zoning) dengan parameter dan kriteria pendukungnya sehingga secara nasional dapat diimplementasikan di lapangan. Lokasi/sentra produksi komoditas strategis (pangan), komoditas penghasil devisa (kelapa sawit, kopi, karet) dan komoditas substitusi impor (ternak, sayuran, dan buah) dapat ditetapkan bersama sektor lain untuk waktu tertentu, misalnya 100 tahun. Tentu saja tidak mungkin semua persoalan diakomodir. Untuk itu, pemerintah perlu menyusun strategi prioritas guna disepakati secara nasional.
Zonafikasi itu perlu didukung kebijakan pembangunan transportasi, sarana produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil. Bahkan, bila perlu dengan melindungi produk yang dihasilkan melalui proteksi terselubung, seperti Jepang melindungi sawahnya. Dengan argumen sawah tidak hanya berperan sebagai faktor produksi/penghasil padi, tetapi juga berfungsi sebagai pengatur tata air (pengendali banjir dan kekeringan) sekaligus merupakan media tumbuh biota serta sumber keragaman hayati. Dengan demikian, sudah sewajarnya lahan sawah mendapatkan proteksi memadai dan alih fungsi lahan dengan menghentikan betonisasi dan aspalisasi.
Zonafikasi dapat dimulai dari level nasional, sesuai kebutuhan komoditas secara nasional yang ditransformasikan ke tingkat provinsi dan dirinci di tingkat kabupaten/kota. Dengan demikian, pelestarian pasokan air, sumber daya air, dan luas sawah baku dapat diintegrasikan. Konsepsi ini perlu dipahami pengambil kebijakan, perencana, pelaksana lapangan, maupun masyarakat. Melalui sosialisasi bertahap, diharapkan pemahaman tentang perlunya menjaga ketersediaan air, sumber daya air, dan lahan sawah baku dapat dilakukan sehingga ketahanan pangan dapat diwujudkan.
Meski alih fungsi lahan, kekeringan, dan produksi pangan begitu "strategis", keberpihakan pemerintah terhadap petani yang merupakan penyuplai roda perekonomian nasional masih rendah. Indikatornya jelas, terlihat dari keputusan pemerintah yang lebih berpihak pada sektor perbankan yang boros dana, sarang korupsi, dan manipulasi. Memang dalam jangka pendek masalah produksi dan ketahanan pangan belum terasakan. Apalagi kini Amerika Serikat menyediakan kredit murah untuk memberi pangan, maka masalah itu seolah berlalu. Pertanyaannya, sampai kapan itu terjadi? Bagaimana halnya bila kemampuan produksi pangan nasional merosot menjadi 75 persen dari kebutuhan nasional? Adakah negara yang sanggup memenuhi kekurangan pangan kita?
Jawabannya, tidak ada satu negara pun yang mampu memenuhinya, dan itu berarti malapetaka bagi Indonesia. Bagaimana dengan gejolak harga yang terjadi di pasar beras internasional, karena kita adalah importir beras terbesar di dunia? Masalah jangka panjang inilah yang tampaknya menjadi perhatian presiden, sehingga masalah kekeringan dan ketahanan pangan menjadi perhatian utama.
Implikasi kebijakan nasional
Kebijakan tata ruang nasional yang sampai kini belum tersedia merupakan ilustrasi betapa masalah pangan dan kekeringan hanya digantungkan pada itikad baik dan ketulusan petani untuk memproduksi pangan dengan ketersediaan air seadanya. Indikatornya, pewilayahan komoditas yang dibangun berdasar kesesuaian lahan dan aspek sosial ekonomi oleh Departemen Pertanian tidak didukung kebijakan sarana transportasi, pasar, dan jaminan harga yang menguntungkan petani. Bahkan, secara menyedihkan sawah yang beririgasi teknis dikorbankan untuk pabrik yang belum jelas dampaknya. Lebih parah lagi, pemerintah sering lebih mudah menerima isu persaingan bebas, liberasi perdagangan yang sengaja diembuskan negara kapitalis yang amat merugikan petani kita.
Seorang ekspatriat dari suatu negara Eropa dan kebetulan mempunyai lahan pertanian di negara asalnya mengatakan, 65 persen keuntungan usaha pertanian-jagung dan gandum-diperoleh melalui subsidi harga yang diterima negaranya dari masyarakat ekonomi Eropa. Bensin untuk traktor pertanian, guna menggarap 600 hektar lahan, disubsidi pemerintah. Bandingkan dengan petani kita yang hanya menggarap 0,25 hektar dengan subsidi yang terus dihabisi dan diminta bersaing dengan mereka yang jauh lebih maju.
Berdasarkan hal-hal itu, kini adalah saat yang tepat bagi pemerintah untuk bersama-sama membuat tata ruang nasional, regional (provinsi) dan lokal (kabupaten) yang didukung kebijakan sarana transportasi, sarana produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran. Komitmen ini harus diimplementasikan agar masalah kekeringan dan ketahanan pangan dapat diantisipasi lebih dini.
Dipublikasikan di Harian Umum Kompas, hari Jum'at tanggal 30 Agustus 2002

Tidak ada komentar: