Kamis, 15 November 2007

Benarkah Tahun 2002 Akan Terjadi El Nino dengan Intensitas Lemah?

Memasuki musim kemarau tahun 2002, para pengambil kebijakan di sektor pertanian, Bulog, permukiman dan prasarana wilayah, lingkungan hidup, kehutanan, dan sektor terkait lainnya selalu dihadapkan dengan persoalan klasik tentang bagaimana karakteristik musim kering yang akan terjadi pada tahun ini?

Detail pertanyaan itu antara lain meliputi:

  1. Bagaimana perkembangan indikator anomali iklim lebih lanjut dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya El Nino dengan intensitas lemah seperti yang disampaikan Badan Meteorologi dan Geofisika pada saat jumpa pers awal musim kemarau bulan Februari 2002.
  2. Adakah pergeseran musim hujan dan kemarau dibandingkan kondisi normalnya, kapan dan kemungkinan berapa lama musim kemarau akan terjadi pada tahun ini?
  3. Berapa penyimpangan curah hujan musim kemarau dibandingkan rata-ratanya? Kepastian ini penting bagi pengambil kebijakan dan petani sebelum menentukan pola dan masa tanam serta teknologi antisipasinya.

Selanjutnya, bagaimana dampaknya bagi keberhasilan pencapaian program sektor pertanian? Pertanyaan ini semakin mengemuka, karena berdasarkan hasil prakiraan musim, awal kemarau semestinya terjadi bulan pada April. Sementara itu, faktanya curah hujan di sebagian wilayah di Jawa masih relatih tinggi.

Indikator Anomali iklim

Ada tiga indikator utama yang dapat digunakan sebagai petunjuk tentang kemungkinan terjadinya El Nino sekaligus prediksi tingkat kekeringan yang mungkin terjadi yaitu:

  1. anomali suhu muka laut (sea surface temperature/SST) di Nino 3.4.
  2. indeks osilasi selatan (Southern Oscillation Index).
  3. angin pasat (trade wind).

Perkembangan ketiga indikator sampai dengan 3 April 2002 berturut-turut disajikan pada Gambar 1, 2, 3, dan 4.

Berdasarkan Gambar 1, 2, dan 3, terlihat bahwa sampai saat ini indikator anomali suhu muka laut masih di bawah 0,20C. Sementara menurut kriteria sementara Tim Pokja antisipasi anomali iklim, El Nino dengan intensitas lemah mulai terjadi apabila anomali suhunya lebih besar 0,5-1,50C selama enam bulan berturut-turut, dengan indeks osilasi selatan antara -10 sampai dengan -20 dengan kecenderungan negatif (rapid falling), dengan sebagian arah angin pasat berbalik ke arah Equador, sehingga di kawasan Indonesia tidak menerima curah hujan. Resume dari ketiga indikator kemungkinan terjadinya anomali iklim disajikan pada Tabel 1.

Berdasarkan hasil perbandingan antara indikator terjadinya El Nino dengan kondisi saat ini dapat disimpulkan bahwa tanda-tanda peluang terjadinya El Nino tahun 2002 dengan intensitas lemah sekalipun belum ada. Kesimpulan sementara tentang belum adanya tanda-tanda El Nino ini sejalan dengan fakta masih tingginya curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia. Bahkan, Jakarta sendiri baru-baru ini juga menerima hujan yang cukup tinggi, sehingga sempat tergenang beberapa saat. Kalau demikian halnya, apakah relevan Bulog meminta untuk mengimpor beras secara berlebihan? Bagaimana pula dengan permintaan daerah untuk mendanai rehabilitasi saluran, mengantisipasi kekeringan secara berlebihan sementara tanda-tanda El Nino belum muncul. Kalaupun peluang terjadinya El Nino lemah sangat kecil, bagaimana dengan kemungkinan terjadinya pergeseran musim hujan dan kemarau serta dampaknya terhadap curah hujan?

Pergeseran Musim dan Perubahan Karakteristik Curah hujan.

Pemerintah dan masyarakat perlu mengetahui secara kuantitatif pergeseran musim sebagai dampak anomali iklim El Nino, sehingga kalaupun terjadi El Nino, kita sudah dapat menyiapkan teknologi antisipasinya. Berdasarkan hasil analisis data curah hujan di beberapa sentra produksi pangan, maka dampak anomali iklim El Nino pada tiga macam kondisi yaitu El Nino kuat (tahun 1997), sedang (tahun 1994) dan lemah (tahun 1991) terhadap pergeseran musim hujan dan kemarau dan perubahan karakteristik curah hujan umumnya berbeda (Tabel 2).

Terlihat dari Tabel 2 bahwa musim kemarau berpeluang mengalami percepatan sampai dengan empat dasarian, demikian juga awal musim hujannya juga dapat mundur sampai dengan empat dasarian. Artinya, musim kemarau menjadi lebih lama sekitar 80 hari dibandingkan kondisi normalnya. Dengan kata lain, periode musim hujan akan mengalami pengurangan yang sama. Sedangkan penurunan curah hujan maksimum yang pernah terjadi mencapai 21 milimeter selama 21 dasarian (210 hari). Pergeseran musim dan penurunan curah hujan musim kemarau ini perlu diantisipasi agar risiko pertanian yang mungkin terjadi dapat diminimalkan dampaknya.

Mengingat dampak anomali iklim El Nino terhadap sektor pertanian sangat luas dan kompleks, maka diperlukan upaya yang sistematis dan terencana untuk antisipasinya. Ada tiga pendekatan antisipasi kekeringan yang dapat dilakukan yaitu (1) pendekatan strategis (2) pendekatan taktis, dan (3) pendekatan operasional. Pendekatan strategis dapat dilakukan melalui identifikasi wilayah rawan kekeringan dan dampaknya terhadap pergeseran musim serta curah hujan.

Pendekatan taktis dapat diimplementasikan melalui peningkatan kemampuan prakiraan iklim utamanya curah hujan. Sedangkan pendekatan operasional dapat dilakukan melalui pengembangan panen hujan dan aliran permukaan. Implementasinya dapat diwujudkan melalui pemanfaatan bekas galian C, alur sungai, cekungan alami untuk menampung air hujan dan aliran permukaan untuk kemudian dimanfaatkan pada musim kemarau. Untuk mendukung keberhasilan usaha tersebut, maka perlu ditopang sistem budidaya pertanian yang antisipatif terhadap kekeringan, sehingga penanggulangan kekeringan tidak bersifat sementara (ad hoc) melainkan melekat (built in) dengan sistem budidaya.

== Tulisan ini dimuat pada Harian Kompas tanggal 12 Mei 2002 ==

Tidak ada komentar: