Rabu, 20 Agustus 2014

MODERNISASI PERTANIAN INDONESIA


Modernisasi Pertanian
Indonesia

Penulis :
Dr. Ir. H. Gatot Irianto, MS., DAA.

Direktur Jenderal
Prasarana dan Sarana Pertanian
Kementerian Pertanian

Edisi, Juli 2014
ISBN : 976-602-71083-0-1 

Selasa, 12 Agustus 2014

Kedaulatan Lahan dan Pangan - Mimpi atau Nyata


Kedaulatan Lahan & Pangan
Mimpi atau Nyata

Penulis :
Dr. Ir. Gatot Irianto, MS., DAA.

Direktur Jenderal
Prasarana dan Sarana Pertanian
Kementerian Pertanian

Edisi Pertama, Desember Tahun 2013
ISBN : 978-979-246-127-5 

Senin, 11 Agustus 2014

PERTANYAAN SEORANG ANAK PETANI

Beberapa pertanyaan ini saya goreskan ketika hati ini sedih dan geram karena gelombang globalisasi perdagangan pangan semakin menggerogoti dan menghancurkan eksistensi petani di segala lini. Pertanyaan selanjutnya muncul dari naluri anak seorang petani yang melihat peluang usaha pemberdayaan petani yang dibiarkan berlalu, sehingga nasib petani belum beranjak baik dengan posisi tawar yang kuat seperti yang terjadi di Negara-negara maju.
Deraan liberalisasi pangan telah menimbulkan ambivalensi antara kesetaraan memperoleh akses pangan dengan harga yang sehat dan dumping yang mempunyai daya bunuh dan tumpas terhadap kompetitor yang luar biasa.
 Gotong royong sebagai nilai luhur falsafah bangsa yang lembut terpaksa harus bertempur melawan individualisme yang menjadi inti neoliberalisme. Sebagai pertarungan ekonomi dan budaya, maka dipastikan pangan global akan mengeliminasi pangan lokal kita. Hancurnya sistem produksi kedelai nasional, anjloknya harga wortel, bawang merah, bawang putih merupakan teladan konkretnya. Ironisnya, masih ada saja yang mengatakan, daripada membeli produk dalam negeri mahal, lebih baik impor dengan harga yang murah.
 Tengoklah di supermarket, sebagian besar didominasi buah impor murah sarat dumping. Tragisnya, pembelinya pegawai negeri bahkan pejabat Pemerintah yang nota benenya digaji dari pajak yang dikutip dari petani sebagai salah komponen masyarakat. Sadarkah kita bahwa pola konsumsi produk impor minded pimpinan nasional (formal maupun nonformal) akan menjadi trend setter masyarakat?.

UJIAN AKHIR SBY-JK

Perlu diingat, pangan adalah urusan perut yang tidak bisa ditawar sebagaimana urusan politik. Ketersediaan yang cukup dan akses yang memadai adalah dua kata kuncinya. Pengalaman menunjukkan, masyarakat miskin rela mempertaruhkan nyawa sekadar untuk memenuhi isi perut, dan bukan untuk memperkaya diri. Fenomena ini perlu diwaspadai jika Pemerintahan SBY-JK jika ingin lulus ujian akhir sebelum menyelesaikan masa jabatannya.
       
    Daya tahan Pemerintahan SBY-JK terus menghadapi ujian berat, mulai bencana tsunami, separatisme Aceh, ancaman terorisme, bencana alam yang beruntun, gejolak moneter, melambungnya harga minyak, hingga persoalan BLBI. Agaknya, segala cobaan ini belum akan berakhir. Masih ada masalah fundamental yang perlu diselesaikan secara mendasar dan simultan di akhir Pemerintahannya, yaitu persoalan kedaulatan pangan (produksi, ketersediaan, dan akses pangan) serta lapangan kerja bagi masyarakat miskin dan mendekati miskin (near poor).

MEWASPADAI KETIDAKADILAN HARGA BERAS

        Predikat sebagai komoditas strategis dan politik yang disandang beras tampaknya justru menjadikan komoditas ini sarat intervensi yang lebih banyak madarot-nya dibandingkan manfaatnya. Begitu banyaknya intervensi ekonomi dan politik Pemerintah melalui Departemen Perdagangan dan Bulog ditambah lagi intervensi swasta melalui tengkulak menyebabkan petani selalu mengalami ketidakadilan harga saat panen raya. Petani yang sebagian besar miskin ”terpaksa dan dipaksa” menerima ”harga senyatanya dan bukan harga yang seharusnya” (harga pokok pembelian Pemerintah/HPP). Ironisnya lagi, mengapa hanya beras saja yang diperlakukan tak adil, sementara harga kedelai dan minyak goreng lebih mudah disesuaikan?
       Mengapa disparitas harga beras dalam dan luar negeri yang mencapai Rp 1.800 tidak bisa dinikmati petani?

Minggu, 10 Agustus 2014

EKSPLOSI PENDUDUK DAN ANCAMAN KELAPARAN

Ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan syarat absolut untuk  membangun kedaulatan pangan. Tanpa adanya perubahan politik atas akses dan penguasaan lahan, maka kedaulatan pangan hanya menjadi retorika dan cita cita tanpa realita sampai kapanpun juga. Indonesia  hanya memiliki luas lahan sawah 8,1 juta hektar (BPS, 2012). Sekalipun subur, dengan laju konversi dari sawah menjadi bangunan, dan dari sawah menjadi perkebunan, menjadikan pasokan pangan berada dalam ancaman di depan mata. Ironisnya, para pihak sebagai pengambil kebijakan cenderung mengabaikan situasi kritikal tersebut. Cepat dan pasti apabila dibiarkan dan tanpa ada langkah radikal, maka Indonesia yang sedang mengalami ekplosi penduduk dipastikan menghadapi ancaman kelaparan.

HAK DASAR ATAS IKLIM

      Tuntutan demokratisasi lingkungan (environmental democratization) dipastikan kian menguat. Konflik yang terjadi akibat tekanan negara maju atas negara pemilik hutan dan desakan negara berkembang terhadap negara industri penyebab utama pemanasan global harus secepatnya diselesaikan.
       Diperlukan sikap menerima dan memberi dari kedua pihak agar tidak menimbulkan perselisihan terbuka yang justru merugikan nasib penghuni planet Bumi itu sendiri. Pertanyaannya, prasyarat apa yang diperlukan agar negosiasi dua kutub berseberangan mencapai titik temu?

BANJIR EKSEPSIONAL

Istar Husain, seorang warga Banglades, menggambarkan bencana banjir yang mendera negerinya tahun 2007 dengan teramat getir: "Begitu banyak hujan saat ini yang menghanyutkan tepian sungai dengan cepat. Tidak ada tempat yang dapat dituju karena lahan kami menjadi sungai dan kini kami tak punya apa-apa lagi."
       Ilustrasi di atas relevan karena sama persis dengan yang dialami ratusan ribu atau bahkan jutaan warga Indonesia saat ini. Banjir yang menerjang sebagian besar kabupaten di Indonesia saat ini sungguh luar biasa.
       Manusia terseret arus, tertimbun lumpur, dan terkubur hidup- hidup. Korban tewas terus berjatuhan, nyawa seakan tidak berharga, sawah dan permukiman mereka berantakan diterjang banjir. Bendung jebol, jembatan ambruk, jalan tertutup air dengan aliran yang sangat deras sehingga transportasi dan urat nadi perekonomian terputus.
       Biaya tambahan akibat banjir ini harus ditanggung dan dibayar warga miskin, termasuk akibat kacaunya pasokan dan harga bahan pangan.

MALAPETAKA BANJIR

Belum pulih sawah dan permukiman yang rusak diterjang banjir Bengawan Solo pada awal 2008 masyarakat sudah dikejutkan oleh banjir bandang yang melanda Pasuruan dan Bondowoso. Banjir kali ini menerjang permukiman, persawahan, serta memutus arus transportasi dan urat nadi ekonomi. Bahkan menelan korban jiwa.
Jakarta juga tidak luput dari amukan Sungai Ciliwung, Cisadane, dan kali Pesanggrahan, sehingga transportasi dari dan ke Bandara Soekarno-Hatta lumpuh total dua hari. Pertanyaannya, mengapa malapetaka banjir terjadi di mana-mana dan terus meningkat baik intensitas, frekuensi, durasi, lokasi dan korbannya.
Penyelesaian menyeluruh masalah banjir mutlak diperlukan, tetapi sebelum itu diformulasikan, terlebih dulu semua pihak perlu menyepakati faktor penyebab banjir. Selama ini banyak pihak selalu condong dan berlindung bahwa hujan merupakan faktor determinan penyebab banjir, bukan manusia.

BANJIR, MALAPETAKAN TERENCANA

Awal tahun ini, ada dua perubahan fundamental karakteristik banjir. Dua-duanya mencemaskan: peningkatan frekuensi dan peningkatan durasi banjir dua kali dalam satu musim hujan. Hal ini bisa dilihat saat banjir besar melanda Pati, Blora, Grobogan, dan Juwana, Jawa Tengah. Pada awal Januari, durasinya 7 hari, sedangkan di awal Februari menjadi 14 hari lebih. Di Pati dan Juwana, banjir bahkan belum surut meski sudah berlangsung lebih dari dua minggu.
Sinyal buruk ini mengindikasikan, bilamana degradasi daerah aliran sungai (DAS) mencapai titik nadirnya, banjir dapat terjadi sepanjang musim hujan. Petani dan masyarakat miskin korban banjir akan langsung merasakan akibatnya. Posisi mereka pasti bertambah sulit.

Jumat, 08 Agustus 2014

HAK DASAR ATAS IKLIM

Tuntutan demokratisasi lingkungan (environmental democratization) dipastikan kian menguat. Konflik yang terjadi akibat tekanan negara maju atas negara pemilik hutan dan desakan negara berkembang terhadap negara industri penyebab utama pemanasan global harus secepatnya diselesaikan.
Diperlukan sikap menerima dan memberi dari kedua pihak agar tidak menimbulkan perselisihan terbuka yang justru merugikan nasib penghuni planet Bumi itu sendiri. Pertanyaannya, prasyarat apa yang diperlukan agar negosiasi dua kutub berseberangan mencapai titik temu?

BANJIR

      Banjir bandang (flash flood) dan genangan (inundation) makin sering terjadi, tidak mengenal musim, waktu, lokasi, dan korbannya dengan besaran yang kian mencemaskan. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi merupakan tantangan terberat dalam pengelolaan banjir. Dampaknya, lahan dan air dieksploitasi melampaui daya sangganya (buffering capacity), sehingga mendorong degradasi biofisik daerah aliran sungai (DAS) terus terjadi.
       Daerah banjir terus bergerak meluas dari wilayah urban, peri-urban, sampai perdesaan. Praktis, hampir semua DAS di Indonesia rawan banjir atau bencana lainnya. Kerugian akibat banjir dan genangan terus meningkat karena frekuensi banjir besar makin tinggi.

PEMANASAN GLOBAL DAN PERADABAN

Menurut laporan Panel Antar Pemerintah Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Perubahan Iklim atau IPCC, telah terjadi kenaikan suhu minimum dan maksimum bumi antara 0,5 - 1,5 derajat Celsius. Peningkatan lebih ekstrem bahkan terjadi di kota-kota besar padat penduduk, dengan polusi udara tinggi dan eksploitasi air tanah berlebihan. Kenaikan itu terjadi pada suhu minimum dan maksimum di siang maupun malam hari antara 0,5 sampai 2,0 derajat Celsius.

PERSIAPAN MENGHADAPI KEKERINGAN

Debat besar selalu terjadi setiap terjadi kekeringan. Pertanyaan tentang besaran kekeringan yang selalu mengemuka adalah: daerah mana saja dan berapa luas areal yang mengalami kekeringan? Sampai kapan kekeringan terjadi? Bagaimana dampaknya? Berapa penurunan produksinya? Bagaimana prediksi dan peringatan dininya serta mau dibawa kemana kekeringan itu?

SISTEM DETEKSI DINI KEKERINGAN

Berdasarkan perbedaan orientasi dan keragaman kepentingan terhadap terjadinya kekeringan, maka Pemerintah perlu menyediakan data dan informasi kekeringan serta dampaknya secara real time agar dapat dimanfaatkan seluruh kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder) sebagai bagian dari pelayanan masyarakat (public services).

BELAJAR DARI KRISIS EKONOMI JILID TIGA

Ada tiga pelajaran penting yang harus dicermati dengan tiga krisis ekonomi tahun 1965, 1997/1998, dan 2005. Pertama, tren besaran krisis. Kedua, dampak krisis terhadap kedaulatan ekonomi. Ketiga, faktor penyebab krisis.
Apabila pendekatan penanganan krisis kali ini tidak mengalami perubahan fundamental, dipastikan krisis ekonomi jilid empat akan terjadi dengan intensitas makin kuat. Frekuensinya pun lebih singkat, durasi dan waktu recovery lebih lama, serta dampak yang jauh lebih dahsyat.

MENYOAL HAK GUNA PAKAI AIR DAN DAMPAKNYA

SETELAH pertambangan dan kehutanan diprivatisasi dan diliberalisasi, maka air merupakan target berikutnya apabila Mahkamah Konstitusi menolak gugatan judicial review Nomor 059-060/PUU-II/2004 yang diajukan oleh 868 warga negara Indonesia dan 16 organisasi masyarakat.

BANJIR DAN GENANGAN EKSEPSIONAL

Banjir dan genangan yang terjadi di sebagian wilayah Aceh, Sumatra Utara dan Riau dipastikan bukan merupakan banjir dan genangan biasa, tetapi merupakan kejadian yang luar biasa.
       Pantauan satelit menunjukkan bahwa banjir terjadi akibat tingginya curah hujan yang terakumulasi dan tidak dapat drainase sehingga menyebabkan terjadinya genangan. Paling tidak ada empat argumen mengapa banjir dan genangan kali ini dikatakan luar biasa, yaitu waktunya, besarannya, lokasinya, dan kerugiannya.

BERSAMA (siapa) BISA SWASEMBADA

Pemerintah telah memutuskan bahwa target produksi beras tahun 2007 adalah peningkatan 2 juta ton beras lebih tinggi dibandingkan produksi tahun 2006 dan secara bertahap naik 5 persen tiap tahun.

BANJIR DAN DERITA RAKYAT MISKIN

       Jakarta banjir. Dan banjir kali ini merupakan pengulangan kejadian serupa, lima tahun lalu (2002).
       Sayang, meski merupakan kejadian periodikal, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kurang melakukan antisipasi memadai. Korban dan penerima dampak adalah rakyat miskin karena permukiman, akses jalan, dan infrastruktur porak poranda.

PROYEK BANJIR DAN BANJIR PROYEK

Sungguh sangat ironis, menyedihkan dan memalukan, di saat banyak orang menderita, ada pihak lain yang menjual derita demi kepentingan dan keuntungan pribadi sesaat. Kalimat ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung para relawan yang tidak kenal lelah, membantu korban banjir.
Pelestarian proyek banjir ini secara fisik sulit dibuktikan, tetapi menilik dari pendekatan pengelolaan, metode penanggulangan, tingginya besaran dan korban banjir, indikasinya sangat kuat.

PANGAN MURAH: PERTARUNGAN ANTARA IMPOR DAN EKPOR?

       Pangan mahal karena diekspor dan pangan murah karena impor dengan harga Dumping sedang bertarung untuk menentukan siapa pemenang dan korbannya. Jawaban atas pernyataan tersebut diuji saat ini dengan melambungnya harga minyak goreng dan susu di atas batas psikologis.

KEKERINGAN DAN KONFLIK AIR

     Musim kemarau kali ini terasa sangat terik, tidak saja pada siang hari, melainkan juga pada malam hari. Petani yang menanam gadu ilegal menjerit kekeringan, sementara yang di hulu menganggap musim kemarau sebagai periode ideal untuk meningkatan produktivitas dan pendapatan. Mengapa kekeringan terus berulang dengan besaran terus meningkat? Seperti apa potret kekeringan yang sebenarnya terjadi di lapangan, dan bagaimana solusi menyeluruhnya?

MENYELESAIKAN KONFLIK PANGAN

       Masih ada satu masalah dan ancaman fundamental yang perlu diselesaikan secara mendasar pada akhir Pemerintahan sekarang, yaitu masalah kedaulatan pangan (produksi, ketersediaan, dan akses pangan) terutama pascapanen raya dan implikasinya terhadap kemiskinan.
Tekanan atas gejolak dan harga pangan dunia ini sulit dihindari Indonesia sebagai konsekuensi globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang dimotori negara-negara maju untuk melakukan kolonisasi ekonomi baru atas negara berkembang dan miskin.
       Pertanyaan fundamentalnya, akankah gejolak pangan nasional terjadi pascapanen raya? Gejolak harga empat komoditas pangan utama dunia, terigu, kedelai, jagung, dan beras, saat ini telah menyeret Indonesia memasuki pusaran gejolak ekonomi dan politik global dengan masyarakat miskin sebagai korban utamanya. Harga beras dunia yang menyentuh 745 dolar AS menyebabkan posisi Pemerintah terjepit, antara meningkatkan pendapatan petani dan meredam kemiskinan.

INDONESIA MENJADI EKSPORTIR BERAS?

        Pernyataan sekaligus pertanyaan ini sangat menggelitik karena Pemerintah melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian akan meluncurkan Pekan Padi Nasional (PPN) III yang akan dibuka Presiden tanggal 24 Juli 2008.
       Melalui PPN III ditampilkan kemajuan terkini (state of the art) teknologi padi dan budidayanya mendukung peningkatan produksi padi nasional.
       Keberhasilan ini terefleksi dari keberhasilan program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) yang mampu mendongkrak peningkatan produksi padi 4,98 persen (tahun 2007) dan 4,76 persen (angka ramalan/ARAM II 2008).
Padahal, kita mencatat luas alih fungsi lahan yang mencapai 80 ribu hektare per tahun baru diimbangi pencetakan sawah 25 ribu hektare pada tahun 2007.
       Data statistik ini diperkuat dengan masih stabilnya harga beras dalam negeri pada aral (level) yang jauh lebih murah dibandingkan harga beras di pasar internasional. Pertanyaannya, dengan keberhasilan fantastis yang dicapai tahun 2007 dan 2008, mampukah Indonesia menjadi eksportir beras dunia? Kalau ya, bagaimana dan kalau tidak mengapa?

WASPADA TERHADAP KRISIS DAN KONFLIK AIR

      Krisis ekonomi telah makan korban Pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat ini harus bergulat keluar dari lubang jarum ''akses energi'' yang menyeret ke krisis ekonomi dan pangan akibat melambungnya harga minyak dunia.
       Krisis ekonomi telah makan korban Pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat ini harus bergulat keluar dari lubang jarum ''akses energi'' yang menyeret ke krisis ekonomi dan pangan akibat melambungnya harga minyak dunia. Energi Pemerintah praktis habis terkuras untuk mencari solusi pemenuhan energi agar terjangkau masyarakat miskin. Krisis dengan magnitude lebih dahsyat dipastikan terjadi bila krisis air mengemuka, karena pasti diikuti krisis pangan dan kesehatan dengan efek sistemik dan permanen.
       Menjadi menyeramkan lagi jika bersamaan dengan itu, terjadi krisis energi dan krisis ekonomi. Konflik vertikal, horizontal, dan diagonal dengan korban masyarakat miskin merupakan dampaknya. Skenario terjadinya krisis energi, air, dan pangan secara simultan disadari benar oleh Pemerintahan SBY-JK.

KELUAR DARI PERANGKAP PANGAN?

Peningkatan kebutuhan pangan terjadi akibat pertambahan penduduk yang relatif tinggi (1,38 persen/tahun) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semua pihak perlu mewaspadai fenomena itu.
       Paling tidak ada tiga komoditas pangan nonberas yang perlu dicermati terkait peningkatan permintaan sehingga bisa mendorong keter-gantungan berlebihan atas bahan pangan impor. Gandum, tetua ayam ras (grand parent stock) baik pedaging maupun petelur serta ternak sapi, merupakan tiga komoditas utama yang kini menjadi perhatian publik dan Pemerintah karena ledakan permintaannya.
       Peningkatan permintaan gandum dan daging ayam broiler yang besar akibat promosi dan layanan antar yang amat militan dan didukung industri hulu dan hilir perusahaan multinasional yang tangguh. Kondisi ini diperburuk terbatasnya edukasi media tentang hidup sehat atas pangan berbasis terigu dan daging ayam ras pada kelompok usia produktif dan anak anak.
       Adapun lonjakan peningkatan impor sapi hingga kini terjadi akibat kebijakan Pemerintah untuk mengimplementasikan pelarangan pemotongan betina produktif agar sapi yang dipotong memenuhi potensi bobot potong ideal.

HIKMAH DI BALIK SUPER TOY HL-2

Hikmah apa yang berada di balik kontroversi dan polemik Super Toy HL-2?
    Paling tidak ada dua manfaat yang bisa dipetik. Pertama, masyarakat dididik bagaimana menghasilkan varietas unggul dengan risiko finansial dan sosial yang harus ditanggung inventor. Kedua, kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam merakit varietas baru dengan bahan induk (tetua) yang amat menakjubkan.
       Masyarakat bisa mengetahui betapa panjang dan lama sebuah varietas padi unggul dihasilkan, termasuk biaya, tenaga, dan waktu. Sebagai gambaran, satu varietas baru dihasilkan dari screening terstruktur 40-50 galur (calon varietas) sehingga seorang pemulia padi (perakit varietas baru) harus menyiapkan kombinasi persilangan yang banyak untuk diuji di lapangan. Diperlukan koleksi plasma nutfah (bank gen) yang memadai agar pemulia padi dapat mengintegrasikan sifat-sifat unggul untuk mengatasi berbagai masalah budidaya.
       Ketahanan terhadap cekaman lingkungan (kekeringan, kebanjiran), daya hasil yang tinggi, umur pendek, tahan hama dan penyakit utama (penggerek batang, wereng batang coklat), rasa pulen, kandungan vitamin tinggi, dan banyak lagi.
       Menariknya, Super Toy HL-2 dihasilkan oleh seorang petani lulusan STM, padahal tugas itu biasanya dilakukan oleh pemulia (breeder) dengan pendidikan S-2 bahkan S-3.

ANTISIPASI BANJIR BENGAWAN SOLO

Bengawan Solo kembali mengamuk, membalas dendam lama atas eksploitasi, destruksi, dan keserakahan manusia. Jembatan dan akses jalan putus. Permukiman, sawah, jalan di hulu (Sragen, Madiun) dan hilir (Lamongan, Tuban, Bojonegoro) terendam banjir. Rakyat miskin kedinginan, lapar, stres, bahkan terkubur hidup-hidup ditimbun tanah longsor. Tanaman puso, penyakit mewabah, menyebabkan mereka yang sudah tidak berpunya semakin merana.

BANJIR, SIAPA PUNYA?

Areal banjir baru terus tumbuh dan berkembang, bahkan kian tidak terkendali. Maka, menjadi aneh jika ada wilayah Indonesia aman terhadap banjir.
       Dampak banjir menguras habis energi, tenaga, waktu, serta dana masyarakat dan Pemerintah untuk membentuk tanggap darurat maupun penanganan pascabanjir. Diperkirakan, stimulus ekonomi Rp 51 triliun yang dirancang Pemerintah untuk meredam dampak krisis keuangan global akan tereduksi, bahkan tersedot akibat banjir.
       Mengapa komitmen, kesadaran, dan kemauan kita untuk menyelamatkan peradaban manusia, termasuk peradaban ekonomi, sosial, dan budaya belum tumbuh signifikan, bahkan sebaliknya justru kian mencemaskan? Pertanyaan berikut, banjir itu milik siapa, bagaimana mengatasinya?

BOBOLNYA SITU GINTUNG

Apa pun konsekuensinya dan berapa pun biayanya, Pemerintah perlu menyisir dan mengurai secara tuntas dan rinci akar masalah jebolnya reservoir Situ Gintung agar kejadian serupa tidak terjadi pada kemudian hari.

MENGAMATI KETAHANAN PANGAN KITA

Mengapa El Nino begitu mencemaskan sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu khusus menggelar rapat koordinasi terbatas?
Ada dua argumen yang mendasari. Pertama, sistem produksi pangan amat sensitif terhadap El Nino dan pasokan air hujan. Kedua, komitmen kuat Pemerintah mempertahankan swasembada pangan menuju ekspor pangan berkelanjutan.
Trauma dampak negatif anomali iklim El Nino memaksa Indonesia mengimpor beras dalam jumlah amat signifikan.

PENYUMBATAN BIROKRASI

Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota mengadakan pertemuan puncak pada 29-30 Oktober 2009.
Targetnya, pertumbuhan 2010 di atas 6,3 persen dan akhir 2014 perekonomian Indonesia tumbuh lebih dari 7,0 persen. Tahun 2020 terjadi swasembada semua kebutuhan pangan domestik dan ekspor secara simultan sebagai implementasi visi Pemerintah memberi makan dunia.

KOPENHAGEN MAKIN PANAS

Ada tiga argumen mengapa Pertemuan Para Pihak (COP) ke-15 di Kopenhagen makin memanas. Pertama, politik buying time Amerika Serikat dalam target penurunan emisi dan tenggat waktunya; kedua, efek bola salju pemanasan global telah merusak lingkungan sehingga terjadi pemanasan global lebih dahsyat; ketiga, perekonomian dunia yang masih suram sehingga agenda lingkungan bukan menjadi prioritas utama.

MEMAKNAI PERDAGANGAN BEBAS ASEAN & CHINA

Macetnya perundingan sektor pertanian pada putaran Doha yang diprakarsai World Trade Organization (WTO) telah mendorong liberalisasi sektor pertanian secara bilateral ataupun regional melalui percepatan penurunan/penghapusan tarif.
Indonesia telah meratifikasi perdagangan bebas (FTA) Asean dan China (ACFTA) melalui Keppres 48 Tahun 2004 yang telah berlaku efektif 1 Januari 2010.
Argumennya, pengurangan hambatan ekonomi dan biaya yang lebih murah akan meningkatkan perdagangan, investasi intra regional, meningkatkan efisiensi ekonomi, menciptakan pasar lebih besar dengan kesempatan dan skala usaha lebih besar serta meningkatkan daya tarik para pihak dalam modal dan kemampuan.

MASALAH PENEBANGAN LIAR DI DAERAH KONFLIK

Benarkah illegal logging tidak bisa diatasi? Akankah kali ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono benar-benar tidak akan kompromi dengan masalah penebangan liar di daerah konflik, seperti Papua dan Aceh dan bukan sekadar sebagai lip service?

MENGAPA HARGA BERAS MELONJAK?

Sejak pertengahan Desember 2009, harga beras merambat naik secara konsisten dan diprediksi masih terjadi sampai akhir Januari. Pertanyaan besar mengemuka: benarkah fenomena ini merupakan fenomena biasa atau merupakan respons pasar atas pasokan beras yang menurun, karena panen raya baru terjadi satu sampai dua bulan mendatang. Ketika harga beras naik sampai dengan awal tahun baru Januari 2010, Pemerintah dan masyarakat masih bisa memaklumi karena ada dampak dari perayaan hari besar keagamaan dan tahun baru 2010. Kondisi ini masih dianggap sebagai fenomena biasa dan terjadi secara reguler. Namun, situasinya menjadi berbeda ketika harga beras terus merambat naik bahkan mulai melampaui ambang batas psikologis.

DAMPAK PRIVASI AIR MINUM

MESKI masih ada pro dan kontra, cepat dan pasti, RUU privatisasi penyediaan air minum segera disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR hari ini, 19 Februari 2004. Pemerintah bersama DPR memosisikan "swasta" sejajar koperasi, BUMN, dan BUMD dalam sistem penyediaan air minum.

PERTANIAN DALAM ACFTA

Suka atau tidak, ratifikasi perdagangan bebas ASEAN dan China melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 merupakan keniscayaan. Pemerintah optimistis kerja sama ekonomi, perdagangan, dan investasi dapat digenjot meski ada saja pengusaha yang khawatir dengan liberalisasi ini dengan berbagai argumennya.

PERDAGANGAN BEBAS PERTANIAN

Suka atau tidak, ratifikasi perdagangan bebas (FTA) ASEAN dan Cina melalui Kepres 48/2004 harus dijalani. Pemerintah berpandangan optimis bahwa kerja sama ekonomi, perdagangan, dan investasi dapat digenjot meskipun ada saja pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat yang khawatir dengan liberalisasi ini melalui berbagai argumennya. Faktanya, tahap awal sektor pertanian menghasilkan trade balance 2.4 milliar dolar AS dibandingkankan impornya 800 juta dolar AS.

AMANKAH WADUK JATILUHUR?

Ketika tinggi muka air atau TMA Waduk Jatiluhur mencapai 108,96 meter dari batas maksimum 115 meter, banyak orang panik, bingung, bahkan muncul isu Waduk Jatiluhur akan jebol.

ROAD TO BALI, BUMI MAKIN PANAS

Pembangunan Jalan Tol (GATRA/Wisnu Prabowo) Tanpa bermaksud apriori, Pertemuan Para Pihak/Conference of Parties/COP Ke-13 bagi peratifikasi Protokol Kyoto (tanpa Amerika) maupun peserta konvensi (dengan Amerika) tentang perubahan iklim untuk penurunan dan stabiliasi emisi gas rumah kaca akan sulit dicapai. Argumennya, sekalipun mengikat secara hukum (legally binding), karena sifatnya voluntary basis dan saling menguntungkan, maka sangat sulit menagih komitmen kewajibannya para pihak. Tanpa sanksi yang jelas dan tegas bagi peratifikasi Protokol Kyoto maupun konvensi memosisikan penurunan emisi melalui joint implementation scheme, clean development mechanim, emission trading, dan mekanisme lainnya hanya menjadi wacana.
 Penolakan emiter terbesar Amerika Serikat dengan 36,1% total emisi dunia pada 1990 untuk meratifikasi Protokol Kyoto tanpa redistribusi ke negara ANNEX 1 menyebabkan target penurunan emisi yang menjadi tanggung jawab negeri adidaya itu tidak terjadi. Posisi emisi gas rumah kaca pada saat ini, yang mencapai 20% di atas emisi tahun 1990, menyebabkan stabilisasi gas rumah kaca ke masa dasar menjadi sangat berat.

SUDAHKAH PETANI MERDEKA ?

Pertanyaan mendasar ini mengemuka karena pada 17 Agustus 2010 ini, kemerdekaan Indonesia genap berumur 65 tahun. Logika sederhananya, kalau petani Indonesia jumlahnya mencapai 55 persen dari rakyat Indonesia, kemerdekaan Indonesia otomatis merupakan kemerdekaan petani. Kalau tidak, siapa sebenarnya yang menikmati kemerdekaan itu?
Pertanyaan selanjutnya, setelah merdeka, bagaimana kehidupan petani Indonesia? Apakah semakin sejahtera atau sebaliknya, semakin menderita? Benarkah petani kita semakin tidak berdaya, apa indikator kuantitatifnya dan bagaimana memerdekakan petani dalam arti yang sesungguhnya? Merdeka atau menderita?

LAHAN DAN AIR, UNTUK APA DAN SIAPA?

Pertanyaan pada judul itu pasti dan terus mengemuka ke Pemerintah karena kian banyaknya petani bertanah air Indonesia tidak memiliki tanah (landless), termasuk air, sebagai komponen utama kehidupan.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas kemiskinan masyarakat yang amat sulit ditolong dengan cara dan dana berapa pun besarnya. Sayang, dalam menyikapi persoalan mendasar itu, Pemerintah lebih banyak aman (safety playing) dengan mengedepankan pendekatan teknologi dibandingkan dengan memecahkan masalah esensialnya, yaitu keadilan lahan dan air.

MEWASPADAI SPEKULASI PANGAN

Kontroversi atas harga beras yang konsisten tinggi dan peningkatan produksi beras 2,45 persen (ARAM III BPS 2010) menyisakan tanda tanya besar.
Benarkah harga beras dibentuk oleh mekanisme pasar atau didikte kelompok tertentu? Ke mana surplus beras 5 juta ton saat panen raya Maret-Mei 2010? Siapa yang menyimpan?
Kewaspadaan terhadap kenaikan harga pangan merupakan keharusan. Ini karena, menurut BPS, kenaikan 10 persen harga beras akan menambah jumlah penduduk miskin 2,5 juta jiwa.

NASIB PETANI KEDELAI

Tirani mayoritas importir kedelai berhasil memaksa Pemerintah untuk kesekian kali membebaskan bea masuk kedelai impor. Membanjirnya kedelai impor menjadikan nasib petani kedelai kian terpuruk dan tidak berdaya.
Importir kedelai dengan tameng perajin tahu tempe tanpa peduli menindas dan menggilas lebih dari 3 juta petani kedelai Indonesia, sekaligus menjerumuskan Indonesia masuk perangkap impor kedelai. Fenomena melambungnya harga kedelai yang terus berulang mengindikasikan bahwa pembebasan bea masuk belum menyelesaikan masalah fundamentalnya.
Ironisnya, ketika harga kedelai di tingkat petani anjlok, semua pihak melakukan pembiaran. Tidak ada satu pun yang memperjuangkan nasib petani kedelai.

MALAPETAKA KEKERINGAN

Pentas drama ”malapetaka kekeringan” yang menimpa rakyat miskin sedang berlangsung di depan mata.
Laju penguapan air yang sangat tinggi berlangsung pada periode waktu yang panjang. Air permukaan di waduk, danau, embung, serta sawah terkuras habis, mengering sangat cepat. Tanaman mati kering terbakar terik matahari. Transformasi suhu medium dan kelembaban humid menjadi suhu tinggi, kering, dan gersang menjadikan kekeringan kali ini luar biasa intensitasnya.
Wajar kalau masyarakat panik karena terjadi mendadak. Gagal panen di lahan tadah hujan dengan konsentrasi rakyat miskin tinggi menjadi keniscayaan.

EKSPOR BERAS DAN IP PADI 400

Hingga tahun 2009, diperkirakan akumulasi badai krisis energi dunia dan finansial terus mengguncang dunia.
       Sinyal menguatnya besaran dampak perubahan cuaca yang ditandai dahsyatnya banjir di hampir seluruh wilayah Indonesia menyebabkan deraan sistem produksi pangan nasional menguat dan kapasitas sangga (buffering capacity) Indonesia terhadap krisis akan kian menurun.
       Menurut analisis data historis banjir, akhir musim hujan dengan banjir dahsyat umumnya diikuti kekeringan luar biasa karena curah hujan tahunan relatif tetap. Perubahan pola curah hujan dan awal musim membuat awal dan masa tanam kian tidak bisa diprediksi dan usaha tani padi penuh ketidakpastian.

KEKERINGAN & PREMANISNE AIR

JAWA Barat sebagai provinsi lumbung air terbesar di Pulau Jawa karena iklim dan curah hujannya paling basah dengan luas hutan lebih baik, terpaksa harus mengalami kekeringan bahkan di beberapa tempat pada periode tertentu harus mengalami krisis air. Ironis memang, tetapi itulah faktanya.

BENCANA ALAM NTT

Kekeringan dan Longsor Melilit Manggarai

       Mungkin masyarakat tidak banyak tahu. Sebelum longsor, Kabupaten Manggarai, NTT, telah didera kekeringan yang menyebabkan tanaman jagung gagal panen.
       Fakta ini menunjukkan, waktu transisi bencana kian singkat, polanya terus berulang, dan frekuensinya semakin tinggi.
       Penyebab utamanya adalah kinerja pemulihan lingkungan amat memprihatinkan. Indikatornya, pascakekeringan muncul kerawanan pangan atau kelaparan, lalu saat musim hujan terjadi banjir diikuti bencana longsor dan merebaknya penyakit.

LINGKUNGAN HIDUP

Transisi Musim Kemarau
   
        Menurut indikator perubahan iklim, terutama curah hujan, tahun 2007 Indonesia mengalami kemarau basah akibat anomali iklim La Nina sehingga masih ada wilayah yang mengalami musim hujan.
       Meski demikian, di wilayah "endemik" kekeringan, seperti Gunung Kidul, Rembang, Demak, Pati, terjadi exceptional phenomena pada transisi musim hujan ke kemarau yang ditandai dengan berhentinya secara mendadak musim hujan, diikuti peningkatan suhu luar biasa, sehingga menguras sumber air.

MERATAPI NASIB PETANI

     Banjir terus berulang dan diprakirakan masih akan muncul karena berdasarkan ramalan lembaga penelitian iklim internasional dan Badan Meteorologi dan Geofisika pada 2008 "la nina" dengan intensitas sedang berpeluang besar untuk terjadi.
       Belum mengering banjir di Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Grobogan, Juwana dan Pati, petani sudah menerima kiriman air bah lagi, sehingga mereka hidup dalam rendaman air dalam waktu yang lebih lama. Curah hujan diprakirakan masih sangat tinggi terutama di sentra produksi pangan, mulai pantai utara Jawa baik Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Padahal saat ini mulai memasuki periode puncak panen raya. Banyak tanaman padi siap panen terendam banjir dan lumpur. Banyak butir padi yang hampa, warnanya hitam, yang terpaksa dipanen lebih muda, sehingga kualitas dan produktivitas panen jauh di bawah standar yang diharapkan.

MENSIASATI CURAH HUJAN DI BAWAH NORMAL

Hasil pemantauan lapangan menunjukkan bahwa, sampai dengan pertengahan Desember ini, sebagian besar wilayah Indonesia utamanya bagian timur belum turun hujan. Diprakirakan lebih dari 50 persen wilayah Indonesia saat ini mengalami curah hujan di bawah normal. Argumen ini didukung fakta bahwa lahan pertanian di sebagian besar wilayah Indonesia yang biasanya pada bulan Desember sudah memasuki masa tanam, saat ini masih ada yang mengalami kekeringan.
Paling tidak ada tiga pertanyaan fundamental berkaitan kondisi curah hujan di bawah normal: apa curah hujan di bawah normal itu sendiri, apa saja faktor determinannya, bagaimana dampak yang ditimbulkan serta bagaimana adaptasinya? Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), curah hujan di bawah normal didefinisikan sebagai curah hujan tahunan atau bulanan yang depth-nya kurang dari 85 persen dari rata-rata normalnya.
World Meteorological Organization mendefinisi-kan rata-rata normal adalah curah hujan rata-rata bulanan atau tahunan dari seri data 30 tahun. Berdasarkan ilustrasi, tersebut, maka curah hujan di bawah normal kali ini memang bukan hal biasa, melainkan sesuatu yang luar biasa, karena dampaknya bersifat multisektor, berjangka panjang dengan biaya, tenaga, dan waktu recovery. Berkaitan dengan terjadinya curah hujan di bawah normal, maka diperlukan sikap dan posisi tegas petani dan Pemerintah untuk mencari model adaptasinya.
Paling tidak ada dua faktor determinan penyebab terjadinya curah hujan di bawah normal: terjadinya El Nino dengan intensitas sedang dan adanya dampak Indian Ocean Dipole Mode. Interaksi kedua faktor tersebut menyebabkan Indonesia miskin pasokan uap air. Lebih menyedihkan lagi, kondisi curah hujan di bawah normal ini diprakirakan sampai akhir Desember 2006. Rendahnya curah hujan ini berdampak langsung terhadap menurunnya pasokan air waduk, karena sebagian besar waduk di Indonesia mengandalkan pasokan airnya dari curah hujan dan aliran permukaan, bukan dari aliran dasar yang stabil pasokannya.
Masa Tanam Mundur
Dampak langsung curah hujan di bawah normal bagi sektor pertanian adalah mundurnya masa tanam, meningkatnya luas daerah kekeringan, dan gagal panen. Mundurnya masa tanam adalah dampak terberat yang harus dicarikan kompensasinya. Meningkatnya luas daerah kekeringan dan gagal panen diprakirakan akan sangat kecil peluangnya, karena saat ini pertanaman dilahan tadah hujan sudah panen. Dengan demikian, gagal panen pun relatif sangat kecil peluangnya untuk terjadi.
Berkaitan dengan mundurnya masa tanam, maka ada dua hal penting yang dapat dilakukan masyarakat bersama Pemerintah yaitu: mengembangkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) dan melaksanakan diversifikasi komoditas. Saat ini Departemen Pekerjaan Umum bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT) melalui Unit Pelaksana Teknis hujan buatan telah dan akan terus membuat hujan buatan untuk mengisi waduk-waduk besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sementara Departemen Pertanian sedang mempersiapkan TMC dengan BPPT untuk mengisi waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata di Jawa Barat. Pilihan lokasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa Jawa merupakan lumbung pangan nasional dengan luas sawah berindeks pertanaman dan produktivitas tinggi.
Sementara Departemen Pertanian sedang melakukan proses persiapan pelaksanaan, secara simultan dilakukan pemantauan kondisi curah hujan di daerah tangkapan DAS Citarum. Hasil pemantauan di DAS Citarum menunjukkan bahwa di bagian hulu dan tengah, curah hujan mulai turun dengan intensitas dan durasi terus meningkat. Sementara di bagian hilir curah hujannya masih di bawah normal. Indikatornya, tinggi muka air ketiga waduk sudah mengalami peningkatan yang signifikan.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, maka perlu dipertimbangkan waktu yang tepat untuk pelaksanaan TMC, apakah saat ini (menjelang musim hujan) atau di akhir musim hujan, sehingga dapat menambah masa tanam untuk mengkompensasi mundurnya masa tanam. Pelaksanaan TMC awal musim hujan akan mempercepat pengisian waduk, sehingga dapat segera dilakukan percepatan tanam. Akan tetapi apabila curah hujan yang turun berlebihan dapat menimbulkan banjir. Sebaliknya apabila TMC dilakukan pada akhir musim hujan, maka pengisian waduk dapat dilakukan lebih lama, sehingga masa tanam gadu dapat diperpanjang.
Pilihan kedua yang harus dilakukan untuk mengantisipasi curah hujan dibawah normal adalah diversifikasi komoditas dan peningkatan efisiensi penggunaan air. Curah hujan di bawah normal merupakan entry point yang baik untuk mendorong masyarakat agar lebih efisien dalam menggunakan air. Berkaitan diversifikasi, maka saat ini Pemerintah melalui sinergi tiga departemen yaitu Departemen Pertanian, PU, dan Dalam Negeri dengan difasilitasi Bappenas sedang mengembangkan program diversifikasi yang didukung akses kredit, pengolahan dan pemasaran hasil. Program ini tersebar di sentra produksi pangan nasional yang nota bene saat ini mengalami curah hujan di bawah normal. Kondisi curah hujan di bawah normal ini merupakan kondisi yang favorable bagi program tersebut, karena petani dapat mengembangkan komoditas unggulan bernilai ekonomi tanpa khawatir dengan pemasaran.

Basis program ini ada di kabupaten sebagai pelaksana otonomi, sehingga keseriusan Pemerintah kabupaten menjadi faktor penentu keberhasilan program tersebut. Tantangan sudah ada di depan mata, kita tidak mungkin menghindar lagi. Keberhasilan kita mengelola curah hujan di bawah normal tidak saja dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani yang selama ini terus diperjuangkan, melainkan juga dapat memberikan bukti nyata tentang isu miring mandegnya revitalisasi pertanian. Kita harus selalu berpegang, bahwa Allah menurunkan masalah tentu dengan pilihan penyelesaiannya, saatnya kita berbuat, bukan mencemooh tanpa melakukan tindakan nyata.

(Tulisan ini dimuat pada: Republika,  18 Desember 2006)

MASALAH KEKERINGAN YANG TAK KUNJUNG TERATASI

Mengapa masalah kekeringan tetap menjadi fenomena periodik (periodical phenomena) dengan magnitude semakin besar seolah tanpa penyelesaian?
Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah kekeringan justru dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu dalam mendulang proyek?
Analisis sistem dari fenomena periodik kekeringan di lokasi yang persis sama, yaitu Indramayu, menunjukkan bahwa penyelesaian masalah kekeringan selama ini dilakukan secara business as usual. Tidak menyentuh persoalan fundamentalnya. Diperlukan analisis lapangan yang mendalam tentang hubungan sebab-akibat kekeringan di wilayah endemik kekeringan sebagai dasar penyusunan strategi adaptasi kekeringan, agar agriculturerisk dapat diminimalkan. Bahkan sebaliknya, produktivitas dan pendapatan petani dapat ditingkatkan.
Pemantauan langsung di sentra endemik kekeringan Kabupaten Indramayu yang merupakan bagian paling ujung timur daerah oncoran Perum Jasa Tirta (PJT) II, menunjukkan bahwa transek Kecamatan Anjatan (daerah hulu), Bongas dan Gabus (daerah tengah), Kandang Haur (daerah hilir), merupakan wilayah yang memiliki intensitas konflik air paling tinggi dengan risiko kekeringan paling besar dan berat. Kandang Haur merupakan kecamatan dengan jangkauan paling jauh, luas kekeringan paling besar, dengan kekeringan paling berat.

Tak Terkontrol
Tak terkontrol/Illegal pumping yang tidak terkontrol di daerah hulu Anjatan saat giliran air jatuh ke daerah tengah Bongas, Gabus, dan daerah hilir Kandang Haur, merupakan penyebab utama terjadinya kekeringan. Debit air 18 meter kubik per detik yang dipasok PJT II, secara teoretis mencukupi untuk mengairi tanaman padi 20 ribu hektare dengan asumsi kebutuhan airnya 0,7 liter per detik. Tapi faktanya, pasokan air menurun drastic saat giliran daerah tengah dan hilir akibat illegal pumping, sehingga tidak mampu mengairi seluruh areal pertanaman.
Dengan kondisi tanah sawah kering dan dasar sungai yang retak tidak berair, maka kebutuhan air irigasi lebih banyak. Karena harus menjenuhi tanah yang dilaluinya, sehingga waktu tempuh air ke petakan lebih lama.
Pola giliran air yang tidak proporsional yaitu tiga hari daerah hulu, tiga hari daerah tengah, serta empat hari di daerah hilir, praktis membuat Kandang Haur mendapatkan waktu oncoran kurang tiga hari, karena diperlukan waktu lebih satu hari untuk mengalirkan air sampai ke hilir.
Illegal pumping lebih jauh akan mendisorganisasi pola dan waktu tanam serta penggolangan air yang telah disepakati dalam bentuk surat keputusan gubernur. Ego dan keserakahan oknum petani di bagian hulu akan merugikan sawah di hilir yang secara agregat luasnya jauh lebih besar dibanding areal panen yang dihasilkan dari illegal pumping.
Mundur
Mundurnya waktu tanam akibat terjadinya tiga periode banjir bandang berurutan sampai Februari 2006, merupakan penyebab kekeringan kedua. 
Dampaknya, waktu panen musim hujan (rendengan) baru terjadi pertengahan Juni 2006. Pergeseran waktu panen rendengan secara serentak akan menyebabkan terjadinya akumulasi tanam musim kemarau (gadu) mundur sampai akhir Juni, bahkan sampai dengan awal Juli. Petani menganggap panen gadu merupakan target yang harus dicapai, karena produksinya tinggi, kualitas dan harganya sangat bagus dengan biaya produksi rendah, dan intensitas serangan hamanya relatif rendah.
Dampaknya, saat ini ditemukan sekitar 11.300 hektare tanaman padi berumur tujuh hingga 40 hari di Kecamatan Kandang Haur, Gabus, dan Bongas yang harus mendapatkan pengairan segera.
Sebenarnya kondisi kekeringan yang terjadi saat ini masih relatively tolerable, karena belum ada kerusakan berarti yang mengarah ke puso, kecuali pada beberapa areal persemaian. Justru sebaliknya, kekeringan pada fase pertumbuhan vegetatif sampai kondisi sebelum titik layu permanen (permanent wilting point) kemudian mendapatkan irigasi (intermittent irrigation). Ini akan menghasilkan laju pertumbuhan akar dan tanaman lebih baik dibandingkan digenangi terus menerus (permanent flooding).
Pengeringan akan menyebabkan terjadinya penguapan gas beracun pengganggu pertumbuhan akar tanaman dan mikroba tanah yang selama ini tertahan dalam tanah akibat penggenangan terus-menerus. Argumen ini didukung hasil penelitian Jepang yang menunjukkan bahwa pengeringan sesaat yang diikuti pemberian irigasi gilir-giring akan menjadikan komposisi air, tanah, dan udara berada dalam proporsi idealnya dan menstimulasi hormone pertumbuhan akar, sehingga serapan hara lebih efisien. Model pengelolaan air ini dapat menghemat jutaan kubik air, sehingga layanan irigasi dapat diperluas ke Cirebon bahkan Jawa Tengah seperti scenario awal Prof Bloominstein dalam pembangunan waduk Juanda.

Pemberdayaan Kelompok
Pemantauan terakhir di lapangan menunjukkan bahwa pasokan air dari PJTII sudah ditingkatkan menjadi 22 meter kubik per detik, sehingga cukup untuk mengairi seluruh pertanaman yang ada. Saat ini yang diperlukan adalah penentuan prioritas pemberiaan irigasi dan pemberdayaan kelompok.
Berkaitan dengan prioritas, semua pemangku kepentingan sepakat bahwa pengamanan/standing crops mendapatkan prioritas utama.
Untuk mereduksi secara signifikan illegal pumping, maka pemberdayaan kelompok perlu terus diefektifkan agar kelompoklah yang mengatur anggotanya bila melakukan pelanggaran pengambilan air yang bukan haknya.
Program pemberdayaan kelompok ini diinisiasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian melalui program padat karya. Di antaranya rehabilitasi jaringan irigasi desa (JID) dan jaringan irigasi tingkat usaha tani (JITUT).

Tahun 2007, Departemen Pertanian akan mengidentifikasi kelompok tani existing dan memfasilitasi pembentukan kelompok tani 'baru' yang selama ini tercerai berai. Diharapkan kelompok tani menjadi basis utama dalam pelaksanaan pembangunan pertanian termasuk dalam pemberian bantuan, sehingga mereka menjadi tuan yang berdaya di negeri sendiri.

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Republika, 13 Juli 2006)

TITIK KULMINASI BENCANA BANJIR

Rentetan bencana banjir luar biasa di Bima, Trenggalek, Sinjai, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Gorontalo, Bone Bolango, dan Tanah Laut, Banjar, Tanah Bumbu, Kotabaru di Kalimantan Selatan, Balikpapan, dan Samarinda di Kalimantan Timur, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara tampaknya belum mampu memacu adrenalin para pemangku kepentingan menyelesaikan masalah banjir secara menyeluruh.
Padahal alam telah memberikan alarm kuat dan langsung bahwa karakteristik: lokasi, pola, dan waktu banjir secara total telah mengalami perubahan fundamental. Berkaitan lokasi, terjadinya banjir eksepsional saat ini yang hampir menenggelamkan Sulawesi dan Kalimantan yang tutupan lahannya relatif lebih baik dibandingkan Jawa merupakan sinyal buruk yang mencemaskan. Propagasi banjir diprakirakan bergerak ke Sumatera dan Maluku sehingga praktis Indonesia di ambang tenggelam.
Banjir di desa Pinogu, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, misalnya, secara historis bukan merupakan "daerah endemik banjir", menunjukkan terjadi penambahan lokasi rawan banjir. Sementara itu, pola banjir juga mengalami transformasi dari banjir bandang (flash flood) yang sesaat ke banjir dan genangan (flood and inundation) dengan durasi lama. Konsekuensinya, terjadi peningkatan besaran korban, termasuk kerusakan pasca banjir. Waktu terjadinya banjir pada musim yang secara klimatologis merupakan musim kemarau mengindikasikan bahwa sekalipun tanah tidak jenuh, banjir dapat terjadi, termasuk di daerah yang selama ini merupakan daerah arid seperti Jeneponto di Sulawesi Selatan.

Akan Terus Meluas
Alarm perubahan alam secara ekstrem ini diprakirakan terus meluas karena destruktif sestemik lingkungan semakin tidak terkendali, apalagi Pemerintah cenderung melupakan masalah banjir begitu kejadian berlalu. Perilaku destruktif diprakirakan akan meluas baik secara vertikal maupun horizontal, sampai banjir mencapai titik kulminasinya dan memunculkan keseimbangan baru dalam bentuk penyadaran pola pikir dan tindak dalam mitigasi banjir. Apabila hipotesis ini benar, maka masyarakat papa yang tiada berpunya harus membayar biaya sosial penyadaran akan perlunya mitigasi banjir secara menyeluruh. Argumen itu didasari fakta bahwa korban banjir terbesar adalah masyarakat marjinal pinggiran dan petani yang tidak berdaya.
BMG harus meningkatkan akurasi dan frekuensi prakiraannya sehingga terjadinya banjir eksepsional dapat dideteksi lebih dini. Masih rendahnya akurasi prakiraan BMG, terutama prediksi transisi musim hujan ke musim kemarau dan musim kemarau, menyebabkan masyarakat harus menerima dampak banjir. Untuk mereduksi risiko, maka wilayah potensial banjir dan penyimpangan iklim lainnya perlu diberikan prakiraan cuaca secara khusus agar masyarakat dapat melakukan antisipasi lebih dini.
Diperlukan penyusunan program bersama secara lintas sektoral sehingga tekanan dan fokus penanganan mitigasi banjir dapat diformulasikan dan dikoordinasikan langsung dalam bentuk rencana aksi. Melalui penyusunan bersama rencana kerja anggaran kementerian lembaga (RKAKL) sektor terkait, maka sinergi lintas sektor dapat dimaksimalkan sekaligus duplikasi program yang selama ini banyak terjadi dapat dihilangkan. Pendekatan ini memungkinkan ego sektor dapat disinkronkan dan pembebanan tanggung jawab dapat dilakukan sehingga mimpi penanganan banjir yang terintegrasi dapat direalisasikan.

Pengelolaan Wilayah
Apabila pendekatan tersebut masih belum memberikan hasil yang maksimal, Pemerintah dapat membentuk Departemen Pengelolaan Wilayah seperti Perancis yang mempunyai Department d’Amenagement de Teritoire sebagai satu-satunya instansi resmi pengelola daerah aliran sungai, mulai pemberian izin bangunan, pengelolaan air dalam arti luas termasuk masalah banjir dan kekeringan.
Partisipasi publik dalam penanggulangan banjir dapat dilakukan dengan mengembangkan proyek-proyek pemberdayaan masyarakat dengan pola padat karya. Argumennya, permintaan dana sektoral yang sangat besar dengan pola kontraktual terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah banjir karena sebagian besar pengelolaannya tidak partisipatif dan kurang transparan sehingga hasilnya tidak sesuai dengan targetnya. Lebih jauh, proyek yang dibangun secara top down akan mendorong terjadinya ketergantungan absolut masyarakat terhadap pendanaan Pemerintah. Dampaknya, rasa memiliki, tanggung jawab, dan keberlanjutan program akan sulit diharapkan.
Belajar dari pengalaman proyek besar kontraktual, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian mengembangkan pola padat karya untuk rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usaha tani, jaringan irigasi desa, pembuatan embung, dan parit di seluruh kabupaten di Indonesia. Hasilnya, keluaran, dampak, dan penerima manfaatnya akan jauh sangat memuaskan karena respons masyarakat sangat tinggi, baik dalam hal partisipasi maupun pemeliharaannya.

Diperlukan kebesaran jiwa Pemerintah di segala strata karena pergeseran model kontraktual ke pengembangan padat karya akan mereduksi para pemburu rente yang selama ini menikmati keuntungan tanpa mengeluarkan keringat.

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas - 06 Juli 2006)

MENYIASATI GUNCANGAN PERBERASAN

Benarkah kenaikan harga beras terjadi akibat supply dan demand? Pertanyaan yang harus dijawab itu mengemuka karena modus untuk mengambinghitamkan rendahnya produksi padi dan harga serta kondisi iklim sudah sering dilakukan.
Tahun 2006, impor dilakukan dua kali, pertengahan Juni dan Desember. Ironisnya, meski sedang panen raya, impor 210.000 ton beras pada pertengahan Juni dilakukan juga. Modusnya, memanfaatkan isu kekeringan, persiapan Lebaran, dan kenaikan harga gabah kering panen di lapangan di atas harga psikologis (Rp 2.400 per kg). Kali ini tekanan dilakukan saat awal musim hujan mundur, memasuki Natal dan Tahun Baru 2007, dan harga gabah mencapai Rp 3.015 per kg.
Begitu cepat dan mudahnya spekulan mempermainkan harga gabah atau beras di masyarakat terjadi karena selisih antara pasokan dan kebutuhan amat tipis, pasar beras cenderung oligopolistik dan terjadinya penimbunan.
Ada dua pengalaman nyata di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan terkait permainan spekulan. Saat Gubernur Jawa Timur mengumumkan akan melakukan sweeping dan menindak penimbun beras, seketika itu harga beras turun Rp 250 per kg. Sementara di Sulawesi Selatan, aparat mendapati gudang penimbunan beras milik perorangan yang jumlahnya luar biasa. Berdasarkan dua ilustrasi buruk ini, bisa dipastikan harga beras lebih disebabkan masalah unfair business dibanding masalah produksi.
Pertanyaannya, bagaimana mengatasi benang kusut perberasan ini? Peningkatan produksi padi dan penegakan hukum yang tegas adalah solusinya.
Peningkatan Produksi
Meski masalah perberasan tidak hanya terkait produksi, tetapi peningkatan produksi beras secara all out harus dilakukan secepatnya agar tidak dijadikan kambing hitam dalam impor beras. Swasembada absolut tanpa impor dapat dicapai tahun 2008 jika produksi padi dapat mencapai 58 juta ton. Untuk itu diperlukan paling tidak 2,2 juta ton GKP tambahan dari tahun 2006.
Untuk memenuhi tambahan produksi padi agar mencapai swasembada beras absolut, Departemen Pertanian akan melaksanakan lima program unggulan: subsidi benih unggul, pengembangan tata air mikro, rehabilitasi jaringan tingkat usaha tani (JITUT) dan jaringan irigasi desa (Jides), pembuatan sawah baru, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman selain program pendukung lain. Masih banyak program lintas subsektor yang dipastikan akan menambah produksi padi nasional. Khusus TAM, Jides, dan JITUT bekerja sama dengan Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Dalam Negeri.
Melalui dana subsidi benih sekitar Rp 1,25 triliun tahun 2007 dan akan ditingkatkan tahun 2008, maka mutu benih pertanaman padi sekitar 6,21 juta hektar dapat diperbaiki sehingga diharapkan terjadi peningkatan produksi 0,15 ton per ha, ekuivalen dengan 0,931 juta ton GKP.
Tambahan berikut, dari pengembangan tata air mikro di lahan rawa pasang surut maupun rawa lebak seluas 118.000 ha dengan produksi 2,0 ton per ha untuk dua musim tanam akan menghasilkan 472.000 ton GKP. Melalui perluasan areal sawah baru 35.000 hektar dengan dua kali panen masing-masing 2,0 ton per ha, diperoleh tambahan produksi 140.000 ton GKP. Optimasi lahan dan rehabilitasi Jides dan JITUT masing-masing seluas 105.000 ha dapat dihasilkan 110,5.000 ton GKP. Dengan dukungan pengendalian organisme pengganggu tanaman, dapat diperoleh tambahan hasil 0,1 ton per ha dari 5,5 juta areal panen sehingga diperoleh 0,621 juta ton GKP. Dengan demikian, total tambahan produksi dari kelima program mencapai 2,27 juta ton GKP, lebih besar dari target 2,2 juta ton untuk mencapai swasembada absolut. Sisanya, 0,07 juta ton, dapat diekspor untuk validasi swasembada absolut tercapai.
Desentralisasi Bulog
Posisi Bulog dan Dolog sebagai instansi vertikal dalam stabilisasi pasokan dan harga tidak relevan lagi. Desentralisasi Bulog dan Dolog ke Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota merupakan pilihan yang menjanjikan. Pertimbangannya, dengan berada langsung di bawah gubernur/bupati/wali kota, stok beras secara riel time dapat dipantau secara on line sehingga skenario pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan dan diantisipasi lebih dini. Terjadinya kolusi antara pedagang beras Dolog bisa diperkecil karena orientasi Dolog memenuhi kebutuhan pangan setempat (in situ). Sementara pemenuhan pangan lintas kabupaten/provinsi dapat dilakukan melalui forum antar gubernur, bupati, maupun wali kota.
Lebih jauh, melalui desentralisasi, Dolog ditumbuhkembangkan menjadi unit produksi, stabilisator pasokan, dan harga di lapangan. Pengawasan dan penimbunan lebih mudah dilakukan Pemerintah dan masyarakat.

Presiden SBY harus menindak tegas penyebab gonjang-ganjing perberasan nasional meski mereka berlindung di balik baju eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika masalah perberasan tidak dituntaskan, dipastikan akan memperpanjang daftar kebutuhan pokok masyarakat penentu hajat hidup orang banyak yang mudah dipermainkan harga maupun pasokannya. Minyak tanah, pupuk, dan bensin adalah teladannya. Tanpa langkah tegas dan transparan, dipastikan Indonesia kian tertinggal dari bangsa manapun karena tiap saat harus menghadapi masalah yang sebenarnya diketahui cara penyelesaiannya. 

(Tulisan ini dimuat pada: Harian Umum Kompas – 09 Januari 2007)